Kekerasan Pada Siswa, Masih Musim?

Saturday, July 02, 2016

Kata pepatah, jangan terlalu benci karena bisa jadi cinta. Dikatakan bahwa garis pemisah antara benci dan cinta itu sangat tipis sehingga sangat rawan.

Mungkin ini yang sedang terjadi ya. Ada satu topik yang sedang ramai dibicarakan di berbagai media termasuk media sosial. Saking seringnya, aku sampai bosan dan mendadak benci. Padahal, benci itu pangkalnya cinta. Maka sebelum aku cinta, buru-buru aku tepis rasa benci itu dan ada baiknya aku menulis saja lah ya, hehe. Sorry, intermezo.

Sebelum kalian menjudge judul dari post ini, aku tekankan bahwa judul ini tidak memihak. Well, tapi kalau kalian merasa judulku ini memihak, silakan aja sih, haha.

Beberapa waktu lalu, kita, para pengguna media -terutama media online-, diributkan soal kekerasan fisik dari guru terhadap anak didik. Sebut saja 'Mawar' 😂 haha. Omong-omong soal Mawar, aku jadi rindu masa kuliah yang sering membicarakan penggunaan nama Mawar sebagai korban suatu perkara, sehingga kami sering mengasihani orang bernama Mawar. Nama yang indah tapi memiliki konotasi..... yang ya begitulah.

Kembali ke topik. Oke, kita nggak usah pakai nama Mawar. Nggak usah juga pakai nama Melati, atau nama bunga-bunga yang lain. Kita putuskan bahwa batasan tulisan ini adalah hanya sebatas opini terhadap topik kekerasan fisik guru pada siswa, bukan mengomentari kasus yang terjadi beberapa waktu lalu itu at all.



Saat-saat Menjadi Siswa Bagi Generasi 90-an

Pertama-tama, aku ingin berbagi tentang masa-masa saat aku masih jadi siswa. Masa-masa saat aku masih jadi siswa SD, SMP, maupun SMA.

Masa SDku dimulai sekitar tahun 2000. Ya, aku yang generasi 90-an ini mulai masuk SD sewaktu umur belum genap 7 tahun. Aku menempuh pendidikan di salah satu sekolah swasta di Surabaya, yang berada di bawah yayasan..... kepolisian? if I'm not mistaken. Di jamanku dulu, sekolah ini terkenal bagus dan disiplin. Jarak dari rumahku ke sekolah kurang lebih bisa ditempuh dalam waktu 30 menit (kalau nggak macet). Jadi, karena sekolah ini begitu disiplin, aku bahkan nggak pernah telat, kayaknya. Aku lupa hukuman untuk anak telat. But what i remember is akan selalu ada hukuman untuk anak yang berbuat tidak sesuai aturan sekolah, termasuk terlambat. Selain itu, SDku memberlakukan buku-yang-aku-nggak-ingat-namanya. Tapi jelasnya, buku itu berisi progress belajar kita di sekolah dan di rumah, serta harus di tanda tangani guru dan orang tua setiap hari. Pernah suatu ketika, kawanku terkena kasus karna diduga memalsukan tanda tangan orang tuanya, yang diduga lagi, karna dia sebetulnya nggak belajar di rumah tapi tertulis belajar di buku itu (yeh, kita bisa ketahuan kan belajar). Kawanku langsung dipanggil oleh BK untuk diingatkan. Kawanku ini sangat ketakutan. Karna dia khawatir kalau guru BK ini sampai lapor ke orang tuanya, justri si kawanku ini kan yang akan kena batunya? Dia pasti akan dimarahi. Selain masalah terlambat dan buku 'itu', ada hari tertentu di mana guru-guru melakukan sidak atau... penyidikan mendadak? Aku lupa singkatannya lol. Sidak ini bermacam-macam. Ada yang sidak handphone, sidak kuku panjang, sidak rambut gondrong untuk laki-laki dan sidak-sidak lainnya. Nggak tahu kenapa, sidak-sidak itu selalu ada yang melanggar, dan tentu ada hukumannya. Untuk yang ketahuan membawa hp, hpnya langsung disita dan harus diambil oleh orang tua. Untuk laki-laki berambut gondrong, akan langsung digunting petal oleh guru. Untuk yang ketahuan belum memotong kuku, jarinya langsung dicoret dengan spidol dan dipukul pelan dengan penggaris. Jaman segitu, kami siswa-siswa yang ketahuan berbuat salah lantas dihukum, sudah pasti ketakutan dan sangat khawatir kalau masalah itu bisa sampai diketahui orang tua. Kami takut dimarahi, karena telah berbuat tidak benar dan tentu mempermalukan orang tua. Aku nggak tahu gimana masa-masa siswa SD sekarang. Apa masih serupa aturan-aturannya?

Masuk ke masa SMP, sekitar tahun 2006 sepertinya. Masa SMPku berbeda dengan masa SDku. Kalau masa SDku begitu disiplin, agak berbeda dengan masa SMPku. Aku bersekolah di sekolah yang berbasis agama, dan letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah, dan bisa ditempuh dengan sepeda atau jalan kaki. Jaman SMP, aku sering terlambat dan konsekuensinya adalah diberi 'skor'. Yap, sekolahku ini juga punya buku skor untuk tiap pelanggaran yang dilakukan siswanya. Tapi, sejujurnya, aku sendiri belum pernah merasakan hukuman nyata dari akumulasi jumlah skor terlambatku selama sekolah itu. Mungkin karna itu juga aku jadi kebal. Sejauh aku mengingat, masa SMPku memang tidak terlalu disiplin jika dibandingkan masa SD. Banyak hal yang bisa ditoleransi, haha, kecuali masalah sholat dan pacar-pacaran. Sidak juga ada, terutama masalah HP. Kalau ada yang ketahuan membawa HP, akan langsung disita dan harus diambil orang tua. Rasa-rasanya aku pernah sekali ketahuan membawa HP, tapi seingatku juga, aku sendiri yang ambil HP itu lagi, bukan orang tuaku, haha. Aku nggak tahu kenapa, sekolahku ini terlihat ketat aturannya, tapi kenyataannya masih banyak toleransi di beberapa hal. Sehingga tidak ada sama sekali hukuman kekerasan fisik di sekolahku ini.

Masuk ke masa SMA, bahkan lebih bebas lagi. Meski sekolahku ini masih berbasis agama, kenyataannya nggak yang aku bayangkan, kok. Bahkan aku masih sering terlambat dan tentu dapat hukuman. Bahkan lagi, ada satu hukuman yang sampai saat ini, sampai aku sudah lulus kuliah, masih belum terbayar, yaitu hukuman menghafalkan terjemahan surat Al-Fatihah. Setiap pelanggaran di sekolahku ini, seingatku, nggak ada yang berbau kekerasan fisik. Bahkan seingatku, terlalu banyak toleransi di sekolah sehingga banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak ada hukumannya, haha. Entahlah.

Dari 3 masa menjadi siswaku itu, hanya masa SDku yang sepertinya menerapkan hukuman yang benar-benar menghukum. Well, sebetulnya nggak adil kalau yang kubandingkan adalah ketiga masa menjadi siswaku itu, karena jenjangnya memang sudah berbeda. Tapi sayang aku nggak berminat mengulang kembali masa SD saat ini, hehe. Jadi aku juga sejatinya nggak sepenuhnya tahu, bahkan lebih tepat bahwa aku sepenuhnya nggak tahu, tentang bagaimana pendidikan di Sekolah Dasar kini.


Hukuman di Sekolah, Dulu dan Kini

Membaca kasus yang baru-baru ini terjadi, dimana ada seorang siswa yang melaporkan gurunya ke polisi karena telah menghukumnya dengan kekerasan fisik, here it is..... IMHO,

Sejatinya, hukuman terhadap siswa yang melakukan pelanggaran memang wajib adanya. Asal, bentuk hukumannya disesuaikan dengan eranya. Iya. Mungkin, untuk generasi 90-an, jamanku sekolah dulu, tren menghukum adalah dengan cara sedemikian rupa yang tersebut di atas, karena dianggap paling efektif. Misalnya, sewaktu aku SD, hukuman-hukuman yang diberikan, yang mungkin sekarang dinilai sebagai sebuah kekerasan baik fisik maupun mental, memang benar membuat jera siswa (siswa era 90-an). Mari kita lihat masa SMP dan SMAku yang banyak memberikan toleransi dan minim hukuman (sepertinya), nyatanya tidak memberikan efek jera. Buktinya, aku masih kebal mengulang-ulang kesalahan yang sama. Jika ditarik kesimpulan, mungkin ya, mungkin, hukuman untuk generasiku, generasi 90-an, yang efektif ya dengan cara seperti jamanku SD dulu?

Untuk kasus yang baru-baru ini terjadi, mungkin mereka para siswa menilai bahwa hukuman yang mereka terima itu tidak pantas diterima karena tidak sesuai eranya. Atau mereka pikir, hukuman seperti itu bukannya tidak pantas mereka terima, tapi tidak pantas diberikan oleh guru-guru mereka, who knows. Mungkin mereka melihat guru-guru mereka itu bukan sosok guru karena beberapa hal yang kita tidak tahu?! Karna secara pribadi, saya pun sering melihat kasus guru yang 'bukan guru' #IFYOUKNOWWHATIMEAN. Sehingga 'kekerasan-yang-tidak-seberapa' dari guru mereka seakan-akan menjadi hal yang perlu dibesar-besarkan.

Oh, atau,
Mereka sebetulnya sangat sadar bahwa mereka pantas dihukum seperti demikian, dan mereka lebih sadar lagi bahwa sebagai net generation, mereka harus 'memanfaatkan'nya untuk menunjukkan bahwa they re exist atau bahkan untuk mendongkrak popularitas. Lebih jauh lagi, bahkan, runtutan peristiwanya bisa jadi adalah mereka sengaja berbuat salah supaya orang-orang sekitar seperti guru dan teman menotice dirinya dan secara implisit dan eksplisit mengakui keberadaannya. Bahkan mungkin mereka sebetulnya tidak menduga bahwa hukuman yang diterima adalah kekerasan fisik (re: dicubit) because they dont even need it. Mungkin mereka berharap, di era informasi ini mereka akan dihukum dengan cara.... guru memposting foto beserta artikel mengenai kenakalan muridnya di media sosial. Sayangnya, gurunya lebih memilih hanya mencubit. Mencubit saja. Well, mungkin gurunya juga sebetulnya ingin memposting tapi karna kasusnya kurang kontroversial maka beliau lebih memilih untuk menghukum secara tatap muka. Maka akhirnya siswanya lah yang unjuk gigi dengan melaporkan gurunya ke polisi agar kasusnya terlihat lebih kontroversial dan TADA, benar saja, kasusnya mencuat ke seluruh negeri melalui berbagai media, termasuk media sosial. Dan dia menjadi dikenal, kini. Ya, persoalan eksistensi.

Beberapa penemuan yang kudapatkan saat membuat skripsi salah satunya tidak jauh-jauh dari persoalan eksistensi. Jangan lupa, term eksistensi disini jangan hanya dikaitkan dengan keeksisan, kegaulan, atau kepopuleran saja. Tapi lebih pada pengakuan terhadap keberadaan manusia, yang mana biasanya mereka yang ingin diakui eksistensinya itu, mungkin selama ini kurang diakui 'keberadaannya' oleh stakeholder hidupnya, atau memang mereka haus eksistensi. Siapa tau.

Bagi yang bertujuan demikian, bisa jadi mereka memanfaatkan hal ini untuk menunjukkan diri dengan cara dan urutan perkara sebagai berikut: membuat laporan di kepolisian>membuat postingan tentang hal ini karna meyakini hal ini bisa going viral dengan pertimbangannya masing-masing>namanya menjadi dikenal seantero jagad>terkenal (meski buruk, yang penting terkenal>ok, it's me, and I'm exist. Beberapa teori tentang hal ini mungkin bisa ditengok di skripsi aku #lah #baper.

Atau mungkin..... aku yang berpikir kejauhan dan suudzon, padahal belum sampai situ, hahaha.

Ya sudah, mungkin aku hanya rindu menulis dan topik ini membuatku gatal. Maafkan tulisan ini yang tidak seperti burung yang terbang tinggi melainkan hanya seperti genangan air hujan di bawah pohon mangga #apaansih. Maaf terlalu banyak curhat karna memang itulah fungsi blog untukku 😅😅

Jadi, kembali lagi pada bahasan awal. Untuk siswa-siswa sekarang -yang katanya net generation-, kira-kira hukuman seperti apa ya yang pantas? Apa memang hukuman berupa 'kekerasan-yang-tidak-seberapa-itu' sudah tidak musim lagi?

You Might Also Like

2 comments

  1. Be jangan panjang panjang aku males bacanya :((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dim... biar terbiasa mbaca skripsimu bolak balik nanti kalo mau sidang 😂😂

      Delete