Workshop Metodologi: Etnografi dan Etnografi Virtual, bersama Tom Boellstorff

Thursday, August 20, 2015

Adalah hari yang menyenangkan aku bisa ikutan workshop yang diadain sama Departemen Komunikasi Unair tanggal 15 Agustus 2015 kemarin. Gimana enggak, lagi dalam keadaan magang dan sudah berapa pekan nggak mengunjungi kampus, tiba-tiba dikabarin sama salah satu kawan kalo kami diajakin ikut workshop metodologi. Awalnya aku nggak paham sampai suatu ketika aku diminta bantu bikin posternya. Oh, akhirnya baru paham kalau kita diajakin ikut Workshop Metodologi: Etnografi dan Etnografi Virtual bersama Tom Boellstorff. Pertama denger ada judul etnografi virtual, mata dan hatiku langsung sensitif mengingat semester kemarin proposal skripsiku pake etnografi virtual di detik-detik revisi terakhir. Nekat mania, bahkan aku belum paham waktu itu. Dalam hati aku berharap mendapat pencerahan tentang etnografi virtual karena semester ini aku mencoba ambil skripsi dan jeng jeng..... etnografi virtualku bener atau nggak yah uhuhu.

Akhirnya hari H pun tiba dan kami mendapat banyak sekali pengetahuan dari Tom. Perlu diketahui untuk para blogger sekalian, jadi Tom Boellstorf ini adalah seorang professor di bidang antropologi yang berasal dari US, tepatnya dari University of California, Irvine. Kalau biasanya di Indonesia orang yang sudah profesor lantas ingin dipanggil dengan sebutan “Prof”, berbeda dengan Tom yang merasa cukup dipanggil “Tom” saja, hehehe. Tom juga merupakan penulis buku, diantaranya: Ethnography and Virtual Worlds: A Handbook of Method (2012); Coming of Age in Second Life: An Anthropologist Explores the Virtually Human (2008); A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia (2007); dan The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (2005).

Nah, pada kesempatan kali ini, aku ingin berbagi pada para blogger semua tentang apa aja yang sudah kudapat dari workshop bersama Tom. Perlu diingat sekali lagi, tulisan ini adalah tulisanku berdasarkan kepahamanku dari workshop kemarin, bukan tulisan Tom. Sehingga kalau-kalau ada salah kata, salah informasi, atau salah paham, mohon dimaafkan dan dimaklumi, terutama untuk Tom, I’m so sorry kalau ada informasi yang salah atau miss.
Pada workshop metodologi ini, Tom menjelaskan tentang penelitian etnografi dan etnografi virtual. Tom juga menceritakan pengalaman dan hasil penelitiannya yang menggunakan etnografi dan etnografi virtual. Nah blogger, ini dia rangkuman materi yang disampaikan oleh Tom.

Etnografi

Perlu diketahui, bahwa sebenarnya, etnografi bukanlah metode, melainkan hasil setandan metode. Metode-metode tersebut sering termasuk survey, wawancara, kelompok diskusi, analisis teks, dan penelitian sejarah. Tetapi ada salah satu metode yang merupakan keharusan dalam penelitian etnografi, yaitu “participant observation” atau observasi partisipan.

Banyak kesalahpahaman terjadi tentang maksud dari observasi partisipan itu sendiri. Banyak yang menganggap bahwa pada penelitian etnografi, peneliti harus “go native”, yaitu menjadi anggota komunitas yang diteliti. Juga penelitian etnografi sering dianggap tidak obyektif karena peneliti berada dalam komunitas yang diteliti. Padahal, keobyektifan penelitian muncul dari metode, bukan dari identitas peneliti. Pada penelitian etnografi sering juga terjadi salah paham bahwa peneliti berhak berbicara “atas nama” komunitas yang diteliti. Padahal, berbicara “tentang” sesuatu dari seseorang berbeda dengan berbicara “atas nama” seseorang.

Pada observasi partisipan dalam penelitian etnografi, dibandingkan dengan metode wawancara misalnya, peneliti dapat lebih tahu mana yang “seseorang melakukan.....” dan mana yang “seseorang mengatakan bahwa mereka melakukan.....”. Hal ini karena peneliti mengamati secara langsung kehidupan seseorang yang diteliti. Selain itu, penelitian yang menggunakan metode observasi partisipan, membutuhkan proses yang tidak sebentar. Disisi lain, peneliti juga harus siap untuk diketahui dan diubah oleh komunitas yang diteliti. Sehingga, pada penelitian etnografi, penelitian berjalan secara 2 arah, bahwa komunitas yang diteliti juga tahu bahwa mereka sedang diteliti.

Selain metode dalam penelitian etnografi, penting juga memperhatikan tema atau bidang kultur penelitian. Pada bidang kultur, sering terjadi kesalahpahaman bahwa kehidupan sosial terdiri dari bidang-bidang yang terpisah, misalnya seperti:





Padahal, sebetulnya, bidang kultur saling mempengaruhi dan terbuka terhadap dunia luas, seperti ini:
  

Tom kemudian mengemukakan hasil penelitian etnografinya yang menggabungkan bidang kultur seksualitas dan bangsa yang dilakukannya di Indonesia. Sebelumnya, Tom menceritakan terlebih dahulu sejarah seksualitas di Indonesia mulai dari: seksualitas dan gender non-formatif yang disebutnya dengan istilah ETPs atau “ethnolocalized homosexual or transvestite professional” subject position, seperti bissu dan warok/gemblak; waria; gay dan lesbi (juga biseksual dan tomboy); peran pokok media; dan perkawinan lesbian.

Dari situ berlanjutlah pada hasil penelitiannya yang kemudian mengungkap 3 jenis diskriminasi, yaitu diskriminasi terhadap: seksualitas; gender (termasuk gender non-normatif seperti laki-laki feminin walaupun bukan gay); dan tekanan sosial untuk kawin secara heteroseksual. Bahwa ternyata, diskriminasi yang berkaitan dengan seksualitas di Indonesia, berkisar pada beberapa ranah diatas.

Hasil lain yang ditemukan Tom adalah mengenai homofobia dan heteroseksisme. Homofobia dan heteroseksisme merupakan dua hal yang berbeda. Homofobia merupakan rasa ketakutan, antipati terhadap homoseksualitas. Sedangkan heteroseksisme lebih pada sistem berpikir dimana menganggap dirinya (heteroseksual) berbeda dengan homoseksual dan berpikir bahwa heteroseksualitas merupakan praktik seksual yang benar, sehingga sikapnya cenderung diskriminatif pada homoseksual. Kedua hal ini (re: homofobia dan heteroseksisme) sama-sama ada di Indonesia akan tetapi proporsinya berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Tom, di Indonesia itu lebih banyak......... homofobia atau heteroseksismenya ya? Lupa atuh maafkan :(

Berkaitan dengan seksualitas dan gender, di Indonesia, waria lebih ketara/terlihat dan lebih diterima daripada gay dan lesbian. Tetapi di Amerika, justru berkebalikan. Waria lebih tidak ketara dan lebih sulit diterima, dibandingkan dengan gay dan lesbian. Bahkan di Amerika seringkali waria menerima kekerasan fisik bila ke”waria”annya diketahui.


Etnografi Virtual


Masih berkaitan dengan penelitian etnografi. Etnografi virtual merupakan penelitian etnografi yang dilakukan di dunia virtual. Tom mengemukakan bahwa pada penelitian etnografi virtual, pada dasarnya prinsip-prinsipnya sama dengan penelitian etnografi. Pada penelitian etnografi virtualnya, Tom mencoba mengaplikasikan prinsip-prinsip penelitian etnografi dan ternyata berhasil. Sebelum memulai penelitian etnografi virtual, penting diketahui terlebih dahulu dasar-dasar yang berkaitan dengan dunia virtual.

Tom mengemukakan beberapa hal penting tentang dunia digital dan riil. Kebanyakan orang menganggap bahwa dunia maya berbeda dengan dunia riil, atau dengan kata lain dunia fisik sangat berbeda dengan dunia riil, padahal itu kurang tepat.



Tom menjelaskan bahwa sebenarnya dalam dunia maya pun ada yang riil, tidak serta merta semua yang ada di dunia maya itu tidak riil seperti anggapan banyak orang. Ada 4 kategori yang menggabungkan antara dunia online dan dunia fisik serta riil dan tidak riil, yaitu: 1) Fisik dan Riil, 2) Online & Riil, 3) Fisik & Tidak Riil, 4) Online & Tidak Riil. Kesemuanya nyata memang ada. Semisal kategori kedua yaitu online dan riil, contohnya ketika seseorang bermain game online (online) dan dia membeli gems untuk bertahan hidup di game itu, maka dia benar-benar harus membayar dengan kartu kredit, artinya uangnya akan benar-benar habis (riil/nyata). Hal ini perlu diketahui sebelum memulai penelitian etnografi virtual karena akan mempengaruhi bagaimana penelitian berlangsung.

Kemudian Tom menjelaskan tentang sejarah awal dunia virtual, mulai dari sejarah Video Place dari Myron Krueger hingga dunia virtual kekinian seperti Club Pinguin, School of Dragons, Minecraft, hingga Second Life.

Setelah itu Tom juga menjelaskan tentang virtual world (VW) dan virtual reality (VR). Perlu diketahui bahwa virtual world dan virtual reality adalah dua hal yang berbeda. Virtual world adalah dunia buatan alias dunia virtual seperti Second Life dan beberapa dunia virtual lainnya. Dimana seseorang yang ingin bermain/berada dalam virtual world membutuhkan koneksi internet untuk terhubung dalam dunia virtualnya. Berbeda dengan virtual reality yang notabene membutuhkan perangkat khusus seakan-akan orang akan masuk dalam dunia virtual, dan bisa jadi tidak membutuhkan koneksi internet, seperti dalam simulasi, umm planetarium bisa kali ya?

Dalam dunia virtual dikenal juga aspek-aspek baru seperti technological embodiment atau pengelmaan badan. Technological embodiment dibagi menjadi 3, yaitu droid, cyborg, dan avatar. Droid merupakan pengelmaan badan berbentuk robot secara penuh. Sedangkan cyborg adalah campuran antara manusia dan robot. Yang terakhir adalah avatar yang merupakan bentuk pengelmaan badan atau representasi pengguna komputer tentang dirinya sendiri ataupun egonya, yang bentuknya hanya bisa terlihat di komputer.

Kembali ke penelitian etnografi virtual. Dalam penelitian etnografi virtualnya, Tom meneliti salah satu virtual world yaitu Second Life. Dalam penelitiannya, Tom mengambil topik tentang disabilitas. Tom sendiri merupakan pemain Second Life sejak 10 tahun yang lalu. Dalam penelitiannya, didapatkan hasil bahwa ternyata, banyak pemain Second Life yang “hidup” di Second Life karena keterbatasannya di dunia fisik. Semisal, ada seorang pemain Second Life yang membuat avatar di Second Life dengan kemampuan menari, karena di dunia fisik, dirinya yang dahulu seorang penari tidak lagi bisa menari karena terkena penyakit. Sehingga dirinya kini “hidup” di Second Life dan membuat avatar dengan kemampuan menari untuk tetap bisa menari meski di dunia virtual. Lain lagi ada seorang penghuni Second Life yang dulunya ingin sekali menjadi fashion designer tapi karena suatu hal akhirnya tidak kesampaian. Akhirnya dirinya membuat avatar di Second Life dengan kemampuan desain pakaian dan di Second Life dia menjual hasil desain dan baju-bajunya. Hal itu menjadikannya sangat senang karena kemampuan yang tidak bisa diekspresikan di dunia nyata, dapat dia ekspresikan di dunia virtual.

***

Nah blogger, sepertinya sekian dulu deh (berasa nulis surat aja pake bahasa 'sekian dulu' lol). Jika ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Jika ada kesempatan, bolehlah kita bertemu lagi #eaaaaaaaaa. Semoga infonya bermanfaat. Terima kasih untuk Tom atas pengetahuan yang luar biasa. Juga terima kasih banyak terutama untuk dosen-dosen Komunikasi Unair yang memberi kesempatan istimewa buat kami mahasiswa butiran debu untuk ikut workshop membahana yang seru ini.

Oh iya satu lagi, bonus foto nih!


Bersama Tom dan segenap dosen tercinta

Bella, Lala, Tom, Wanudya

Mba Kandi, Mba Nisa, Tom, Bu Santi

You Might Also Like

0 comments